MEDAN, iNews.id – Kabupaten Karo, Sumatera Utara (Sumut), memiliki kekayaan alam yang luar biasa, khususnya di sektor pertanian. Namun, potensi ini belum mampu menunjang kesejahteraan masyarakat Karo karena sejumlah persoalan.
Tokoh masyarakat Sumut, Arya Sinulingga mengatakan, sedikitnya ada enam permasalahan pertanian di Karo yang harus segera dibenahi. Dengan begitu, masyarakat di wilayah yang terkenal beriklim sejuk dan menjadi sentra sayur mayur di Sumut ini, bisa meningkatkan kesejahteraannya.
Menurut Arya, permasalahan pertanian di Karo mulai dari hal mendasar, yaitu bibit. Selama ini, petani masih membeli bibit dari luar daerah, seperti Jawa Barat (Jabar). Hal ini dinilai memprihatinkan. Kabupaten Karo memiliki balai penelitian benih, tapi hasilnya kecil dan tidak dipakai petani.
“Padahal potensi kita untuk pembibitan tidak ada bedanya dengan di Jabar. Seharusnya kita bisa jual bibit tidak hanya ke petani Karo, tapi Simalungun, Dairi, bahkan Aceh,” papar Arya saat dialog interaktif di salah satu radio di Tigapanah, Kabupaten Karo, Jumat (26/10/2018).
Menurut Arya, Karo sangat memungkinkan menjual bibit tanaman ke daerah lain. Ini mengingat posisinya berada di tengah-tengah wilayah tersebut. “Posisi Karo sangat sentral. Ke Aceh Tenggara bisa, ke Aceh Gayo bisa. Artinya ke provinsi lain kita juga bisa jual bibit. Tapi kondisi sekarang, bibit saja kita beli dari Jabar,” ujarnya.
Persoalan kedua, menurut Arya, bantuan bibit dari pemerintah. Sering sekali bibit tersebut tidak cocok untuk dikembangkan di wilayah Karo sehingga petani tidak menggunakannya. Dengan potensi pertanian Kabupaten Karo, seharusnya dapat memengaruhi pemerintah untuk memberikan bantuan bibit yang sesuai dan tepat.
“Ketika Karo memiliki perwakilan di tingkat pusat, hal ini dapat di follow up. Namun, sejauh ini belum ada sosok yang mempromosikan potensi pertanian Karo di tingkat pusat. Padahal ini penting agar kita memiliki bargain besar di pemerintahan,” ujarnya.
Persoalan petani di Karo selanjutnya terkait biaya produksi karena kebanyakan petani merangkap sebagai pengusaha. Dia mencontohkan komoditas jagung. Dari perhitungannya, biaya produksi terbesar di sektor tenaga kerja yang mencapai 60 persen, sementara untuk bibit, pupuk dan obat-obatan hanya mencapai 40 persen.
“Kebanyakan petani di Karo memakai pekerja di ladangnya sehingga ketika harga jagung turun, kita langsung kelabakan karena biaya produksi tinggi. Sementara Dairi dan Pakpak Bharat, mereka tidak pernah teriak harga jagung turun karena biaya produksi rendah,” ujarnya.
Persoalan keempat, sistem mekanisasi pertanian di Tanah Karo masih minim. Petani umumnya hanya menggunakan traktor. “Untuk yang lain belum. Ini membingungkan karena mekanisasi masih rendah di kita,” kata Caleg DPR Dapil III Sumut dari Partai Perindo tersebut.
Masalah lainnya terkait air. Meski Karo menjadi jantung pertanian, sampai hari ini kebanyakan petani masih tergantung dengan hujan. Setiap musim kemarau, petani akan kesulitan air sehingga ini harus menjadi perhatian.
“Seharusnya setiap desa itu mempunyai cekdam. Anggarannya bisa dari APBD maupun dari pusat. Ketika setiap desa punya cekdam, maka air bisa disalurkan melalui pipa ke ladang-ladang petani. Dengan demikian pertanian akan tetap berproduksi tanpa tergantung dengan musim,” kata Arya.
Masalah keenam menyangkut pascapanen. Hingga saat ini, belum ada upaya yang dilakukan petani Karo untuk menjaga harga. “Kebanyakan petani belum berani dengan sistem kontrak. Saat harga turun, petani teriak. Sementara bila harga naik, mereka ingin harga pasar,” ujar Arya.
Arya menambahkan, sistem kontrak merupakan pilihan sulit. “Apakah petani ingin harga stabil atau mengikuti gejolak pasar. Ini kadang-kadang petani lebih berani berjudi dengan harga,” tuturnya.
Dia mencotohkan, kebutuhan wortel di Indonesia cukup besar, sementara daerah Berastagi dan sekitarnya merupakan sentra penghasil wortel yang sangat baik. Banyak mal di Indonesia ingin menjalin kerja sama kontrak dengan petani. Tapi umumnya petani belum mau. “Inilah yang seharusnya perlu diperbaiki dengan melakukan penyadaran-penyadaran terhadap petani,” kata Arya.
Editor : Maria Christina
Artikel Terkait