LANGKAT, iNews.id – Bagaimana rasanya hidup tanpa listrik di zaman teknologi berbasis listrik telah menguasai kehidupan manusia? Pertanyaan ini akan dengan mudah dijawab masyarakat Dusun 6, Desa Kuwala Langkat, Kecamatan Tanjungpura, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara (Sumut).
Saat iNews berkunjung ke dusun ini, kehidupan tampak berjalan normal. Warga memang terkesan tidak terganggu dengan ketiadaan listrik. Tapi, pemandangan di sini tampak berbeda. Tidak ada anak-anak bermain telepon seluler (ponsel) atau menonton siaran televisi. Mereka malah terlihat asyik dengan permainan tradisional.
Sebagian warga beraktivitas di rumah mengandalkan cahaya alami sinar matahari. Ada yang memasak, mempersiapkan bumbu-bumbu, tentu dengan mengandalkan tenaga sendiri karena tidak ada listrik. Sebagian mengobrol di depan rumah.
Aktivitas mandi, mencuci, dan buang air (MCK), umumnya masih di sungai. Listrik membuat warga tidak bisa memasang pompa air sementara instalasi perusahaan daerah air minum (PDAM) belum sampai ke dusun ini. Air sungai berwarna kuning sehingga tidak layak dikonsumsi, tapi warga sudah terbiasa menggunakannya untuk berbagai kebutuhan. Termasuk untuk mandi dan memasak. Warga mengaku sadar penggunaan air sungai bisa berdampak buruk pada kesehatan.
“Kadang-kadang kulit gatal-gatal. Kami juga sehari-hari mengambil air dari sungai ini untuk minum dan masak. Semua warga di sini gitu. Mau gimana lagi,” kata Mala, warga Dusun 6, Desa Kuwala Langkat, yang baru memandikan putranya di sungai.
Sebelumnya, Mala baru membawa air dengan ember dari sungai ke rumahnya. Air itu untuk memasak dan air minum. Dia sangat berharap dusunnya tersentuh listrik untuk mempermudah hidup warga di sana.
Warga di dusun ini telah sangat lama mendambakan listrik. Mereka tidak tahu dan lupa, sudah berapa lama dusun itu tanpa listrik. Kepada pemerintahan desa setempat, mereka sudah berulang kali mengusulkan agar mengusahakan listrik masuk. Namun, kehidupan di sini tetap gelap gulita. Padahal, dusun ini hanya berjarak 1 kilometer dari tiang PLN Ranting Gebang dan Tanjungpura.
Di saat daerah lain sudah hidup dan mendapatkan kemudahan dengan listrik, dusun ini mengalami banyak ketertinggalan. Aktivitas warga sehari-hari di rumah yang terpaksa masih manual. Jembatan kayu penyeberangan warga, sudah lapuk karena setiap hari dilintasi. Di malam hari, terkadang warga terjatuh ke sungai karena kondisi gelap gulita.
Kegiatan belajar mengajar juga terganggu. Anak-anak hanya bisa mengandalkan penerangan dengan lilin atau lampu teplok. Membaca dan menulis jadi tidak mudah. Lagi-lagi, karena kondisi seperti ini sudah cukup lama, mereka seolah sudah terbiasa meskipun berharap agar kondisi ini cepat berakhir.
“Kami sedih karena tiap hari harus belajar mengaji dengan lampu sentir. Anak-anak sering salah membaca. Ini sudah lama, dari zaman nenek-nenek kami dulu. Kami mohon supaya listrik segera masuk ke dusun kami ini. Sudah berpuluh-puluh tahun kami hidup tidak ada listrik,” kata guru mengaji, Yulia Zuma.
Sebagian warga bosan hidup dengan kondisi seperti ini. Mereka memilih pindah ke desa lain yang sudah memiliki penerangan listrik. Sebab, tidak ada kepastian kapan dusun ini bebas dari kegelapan.
Editor : Maria Christina
Artikel Terkait