Pemandangan di Danau Toba, Sumatera Utara (ilustrasi). (Foto: Okezone.com)

SIAPA tidak kenal Danau Toba? Telaga raksasa dengan luas mencapai 1.130 km persegi itu tercatat sebagai danau vulkanik terbesar di dunia. Pesona alamnya selalu mengundang rasa kagum. Mulai dari pantai nan eksotis, pemandangan indah khas pegunungan, hingga Pulau Samosir nan menawan di tengah-tengah tasik.

Dengan segala daya tarik yang dimilikinya itu, tidak mengherankan jika pemerintah menetapkan Danau Toba sebagai salah satu dari 10 destinasi wisata prioritas Indonesia pada 2015. Bahkan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sempat menggadang-gadang danau kebanggaan masyarakat Sumatera Utara itu menjadi “Monaco of Asia”.

Demi mewujudkan ambisi tersebut, pemerintah pun telah menyiapkan sejumlah rencana pembangunan infrastruktur sejak jauh-jauh hari. Salah satunya adalah menyulap Bandar Udara (Bandara) Silangit menjadi bandara internasional dengan melayani penerbangan secara langsung dari Singapura. Selain itu, pemerintah juga bakal membangun lima dermaga dan menyediakan dua kapal penyeberangan jenis roro (roll on–roll off) untuk mendukung mobilitas masyarakat sekaligus wisatawan di Danau Toba.

Namun sayang, di balik pesonanya yang memukau, Danau Toba ternyata juga menyimpan masalah ekologis cukup serius. Kadar polutan di perairan tawar itu disebut-sebut kian memprihatinkan akibat ulah korporasi dan sejumlah oknum masyarakat setempat. Kualitas air danau itu pun tak lagi sebaik dulu lantaran sudah tercemar bermacam-macam limbah.

Holmes Hutapea menuturkan, pencemaran Danau Toba setidaknya mulai marak sejak 1997. Itu ditandai dengan bermunculannya keramba jaring apung (KJA) milik perusahaan swasta di kawasan tersebut. Di masa selanjutnya, usaha perikanan menggunakan media KJA juga ditekuni oleh sebagian penduduk sekitar danau. Semakin menjamurnya keramba di Danau Toba selama dua dekade terakhir, menyebabkan perairan darat itu terkontaminasi limbah pakan ikan dalam jumlah signifikan.

“Sekarang, pH (derajat keasaman) air danau ini sudah melebihi ambang batas. Akibatnya, keberadaan ikan-ikan endemik seperti mujair semakin langka. Bahkan, ikan pora-pora di sini pun sudah hilang (punah) karena tak lagi mampu berkembang biak setelah tercemar limbah pakan KJA. Sebagai buntutnya, banyak nelayan di sini akhirnya terpaksa beralih profesi menjadi petani,” ungkap aktivis lingkungan dari Yayasan Pecinta Danau Toba (YPDT) itu kepada iNews, belum lama ini.

Dia mengatakan, ada dua perusahaan pengelola keramba yang punya sumbangan paling besar atas kerusakan ekosistem Danau Toba. Mereka adalah PT Aquafarm Nusantara dan PT Suri Tani Pemuka (anak perusahaan PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk alias JAPFA—red).

Selain dua korporasi di atas, aktivitas peternakan babi oleh PT Allegrindo Nusantara juga ditudingnya turut memperparah pencemaran Danau Toba. Menurut hasil investigasi dari berbagai sumber, perusahaan tersebut bertanggung jawab atas pembuangan limbah kotoran babi sebanyak 1.200 liter per hari ke Sungai Silali di Desa Urung Pane, Kecamatan Purba, Kabupaten Simalungun. “Limbah ternak yang dibuang ke sungai itu bermuaranya di sini (Danau Toba) juga,” ucapnya.

Menurut Holmes, salah satu indikasi tingginya tingkat pencemaran di suatu kawasan perairan tawar bisa dilihat dari populasi lintah yang terdapat di dalamnya. Sebab, kata dia, lintah biasanya memang betah hidup di air yang kotor. Dan faktanya, hewan menjijikkan itu kini semakin mudah ditemukan di Danau Toba. Bahkan, tidak jarang pula wisatawan menjadi “korban” gigitan lintah saat mandi atau berenang di pinggiran danau itu.

“Kalau danau ini tidak jorok dan tercemar, mana mungkin lintahnya bisa sebanyak sekarang? Saking sudah tercemarnya, sampai-sampai ada penelitian menyebutkan bahwa butuh 70 tahun untuk memulihkan danau ini kembali,” tuturnya.

Holmes mengungkapkan, YPDT telah menggugat para pemilik perusahaan KJA di Danau Toba ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan. Perkara itu dimenangkan oleh YPDT lewat putusan yang diumumkan majelis hakim pada 7 Desember 2017. Selain itu, yayasannya juga telah melayangkan gugatan terhadap Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) selaku tergugat I, dan PT Aquafarm Nusantara sebagai tergugat II intervensi di PTUN Jakarta. Saat ini, proses peradilan terhadap BKPM dan perusahaan swasta tersebut masih berlangsung. "Begitu pula, gugatan lingkungan hidup sudah kami daftarkan ke PN Jakarta Pusat dan kini sedang berjalan," katanya.

Meningkatnya polusi Danau Toba membuat masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan pesisir telaga itu semakin kesulitan memperoleh akses air bersih. Seperti dialami Rosinta Sinaga, misalnya. Warga Kelurahan Parapat, Kecamatan Girsang Sipangan Bolon, Kabupaten Simalungun itu mengaku dulu sangat mengandalkan air dari danau untuk memenuhi kebutuhan konsumsi sehari-hari. Namun, kini dia dan penduduk lain di kampungnya terpaksa harus mencari air layak minum ke sumber-sumber mata air yang terdapat di daerah pegunungan.

“Air Danau Toba sekarang udah enggak higienis. Baunya amis. Airnya pun sudah tidak sebening dulu lagi,” ujar perempuan paruh baya itu.

Selain Parapat, masyarakat Kabupaten Samosir juga menggantungkan hidupnya pada Danau Toba. Bahkan menurut catatan pemerintah daerah setempat, sekitar 90 persen penduduk Samosir masih mengongsumsi air dari telaga supervolcano itu sampai hari ini. Namun, dengan kondisi ekosistem sudah tercemar seperti sekarang, warga di sana pun mulai merasa waswas jika air danau yang mereka minum dapat menimbulkan masalah kesehatan serius di kemudian hari.


Salah satu pemilik penginapan di Parapat, Alfian Deroy mengatakan, tidak sedikit wisatawan yang datang ke tempatnya mengeluhkan air danau yang kotor dan banyak mengandung lintah. Bahkan, ada beberapa turis yang mengalami gatal-gatal di kulitnya setelah mandi di danau itu.

“Kalau kondisinya terus-terusan begini, Danau Toba jelas sangat tidak layak dipromosikan (sebagai destinasi wisata prioritas Indonesia). Begitu para pengunjung tahu air danau ini jorok, ke depan mereka bakalan kapok ke sini lagi,” ucapnya.

Dia menuturkan, Parapat selama ini dikenal sebagai salah satu gerbang masuk utama wisatawan ke Danau Toba, baik domestik maupun mancanegara. Akan tetapi, dalam beberapa tahun terakhir, jumlah kunjungan wisata di kawasan itu terus menurun seiring memburuknya kualitas air danau itu.

“Hotel di Parapat ini sekarang banyak yang kosong. Sebab, pengunjung yang berlibur ke sini semakin sepi. Turis asing pun sudah tidak sebanyak dulu, dalam sebulan itu yang datang hanya satu orang. Itu pun kadang dia cuma sekadar lewat-lewat saja, tidak menginap,” kata Alfian.


Pemerintah Provinsi Sumatera Utara sebenarnya sudah berupaya mengambil beberapa langkah guna memulihkan kembali kualitas air di Dana Toba. Salah satunya dengan mengurangi kegiatan budi daya ikan KJA di perairan itu. Berdasarkan data Dinas Perikanan dan Kelautan Sumut, terdapat penurunan jumlah produksi ikan dengan KJA di Danau Toba selama tiga tahun terakhir. Dari yang tadinya berjumlah 84.000 ton pada 2015, menjadi 63.000 ton pada 2016.

Salah seorang petani ikan KJA di Parapat, Berkat Lubis, mengaku tidak akan mempersoalkan kebijakan pemerintah mengurangi jumlah keramba di perairan Danau Toba. Namun dia berharap agar kebijakan itu diterapkan secara adil, tanpa diskriminasi.

“Kalau memang (keramba) mau dikurangi, jangan dari kami dulu lah. Kami ini kan cuma masyarakat kecil. Lagi pula, yang mulai bikin kotor danau ini juga bukan kami duluan kok,” ujar Berkat.***


Editor : Ahmad Islamy Jamil

BERITA POPULER
+
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network