Letusan Gunung Sinabung yang menyemburkan material abu vulkanik tampak dari kejauhan. (Foto: iNews.id/Stepanus Purba)
Korban erupsi Gunung Sinabung menempati tenda darurat yang terdapat di pos pengungsian di Kabanjahe, Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Beberapa di antara mereka ada yang sudah tujuh tahun menempati pos pengungsian tersebut. (Foto: iNews/Oghi Prayogi)
Untungnya, kata Tawar, pemerintah dan pihak swasta masih mau menyediakan bahan makanan gratis untuk para korban erupsi Gunung Sinabung. Di samping itu, ada juga program sekolah darurat gratis bagi anak-anak pengungsi.
Meski demikian, dia berharap segera memperoleh tempat tinggal permanen di lokasi yang baru, sehingga bisa beraktivitas dengan normal lagi seperti sedia kala. Sebab, peluang warga Sigarang-garang untuk kembali ke desa mereka bisa dibilang mustahil, mengingat kondisi Gunung Sinabung kini telah berubah menjadi gunung api tipe A dengan ancaman bencana yang berkelanjutan. “Dengar kabar, kami akan direlokasi ke Desa Siosar (di Kecamatan Merek). Tapi belum tahu kapan persisnya,” ucap Tawar.Beberapa tahun terakhir, Gunung Sinabung yang terletak di Dataran Tinggi Karo, Sumatera Utara, terus menunjukkan aktivitas vulkanik. Berdasarkan data visual dan kegempaan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) per 10 Februari 2018, status gunung itu masih berada di level IV (awas).Masyarakat dan pengunjung pun diminta tidak melakukan kegiatan apa pun di radius 3 km dari puncak gunung. Di beberapa lokasi, larangan beraktivitas kepada masyarakat bahkan diberlakukan dalam radius 6 – 7 km dari puncak gunung yang memiliki ketinggian 2.460 meter di atas permukaan laut (dpl) itu.
Setelah erupsi pertama pada Agustus 2010, Gunung Sinabung berulang kali meletus. Sejak September 2013 – Januari 2018, gunung tertinggi di Provinsi Sumatera Utara itu seakan tak pernah berhenti memuntahkan abu vulkanik, awan panas, lahar dingin, dan lava pijar. Dalam setahun, rentetan gempa yang menguncang wilayah sekitar gunung bisa terjadi ratusan kali.Sampai saat ini, bencana alam tersebut menelan sejumlah korban jiwa di Kabupaten Karo. Menurut catatan, sedikitnya 14 warga meregang nyawa setelah terkena abu vulkanik Sinabung pada Januari 2014. Seluruh korban kala itu ditemukan di Desa Sukameriah, Kecamatan Payung. Selanjutnya, letusan disertai awan panas dari gunung api tersebut pada Sabtu 21 Mei 2016 menyebabkan meninggalnya tujuh warga di Desa Gamber, Kecamatan Simpang Empat. Selain menelan korban jiwa, erupsi Gunung Sinabung juga menyebabkan belasan ribu warga kehilangan harta benda serta hewan ternak. Ribuan hektare ladang milik penduduk pun menjadi rusak karena terpapar abu vulkanik.Salah satu kebijakan pemerintah untuk menangani korban terdampak erupsi Gunung Sinabung adalah dengan merelokasi mereka ke tempat yang lebih aman. Relokasi tahap pertama berlangsung pada Juni 2015. Pengungsi sebanyak 370 KK dari tiga desa yakni Sukameriah, Bekerah, dan Simacem dipindahkan ke Desa Siosar.
Permukiman baru untuk para korban erupsi Gunung Sinabung di Desa Siosar. Rumah-rumah yang dibangun di kawasan ini dihuni para pengungsi peserta program relokasi tahap pertama. (Foto: iNews/Oghi Prayogi)
Program relokasi tahap pertama di Siosar menghabiskan dana Rp300 miliar lebih. Biaya tersebut mencakup untuk pembangunan infrastruktur, pemukiman, dan pengadaan lahan pertanian warga.
Selanjutnya, pada 2016, pemerintah menggulirkan program relokasi tahap kedua secara mandiri untuk 1.873 KK pengungsi dari empat desa yaitu Berastepu, Gurukinayan, Kuta Tonggal, dan Gamber. Adapun lokasi yang dipilih sebagai tujuan relokasi kali ini adalah Desa Lingga di Kecamatan Simpang Empat.Akan tetapi, rencana itu menuai penolakan dari warga setempat. Alasannya, Desa Lingga sudah tidak memungkinkan menampung seluruh pengungsi, mengingat sempitnya lahan pertanian yang menjadi sumber utama mata pencarian penduduk di sana. Untuk menghindari terjadinya konflik horisontal antara pengungsi dan warga Desa Lingga, Pemkab Karo pun akhirnya membatalkan rencana relokasi tersebut pada 31 Juli 2016. Sebagai gantinya, pemerintah mencari daerah lain yang dinilai masih memiliki ketersediaan lahan memadai untuk menampung para pengungsi.Presiden Joko Widodo (Jokowi) pernah menargetkan program relokasi tahap kedua bisa dirampungkan pada akhir 2017. Namun, hingga Februari 2018, proyek itu belum menunjukkan hasilnya.
Data terakhir yang dihimpun iNews menunjukkan, terdapat 7.214 jiwa atau 2.038 KK mengungsi akibat erupsi Gunung Sinabung. Mereka berasal dari enam desa yang terletak di kaki dan lereng Gunung Sinabung, yaitu Desa Tiga Pancur, Sukanalu, Pintu Besi, Sigarang-garang, Jeraya, dan Kuta Tengah.
Dari seluruh jumlah pengungsi yang terdata, hanya 2.863 jiwa menempati pos-pos pengungsian per Oktober 2017. Sementara sisanya sebanyak 4.351 jiwa lagi tinggal secara berdiaspora di luar pos pengungsian. Pada Januari lalu, Pemkab Karo akhirnya menempatkan para pengungsi di hunian sementara (huntara) yang terletak di Desa Ndokum Siroga (Kecamatan Simpang Empat). Penempatan mereka di huntara itu sembari menunggu rampungnya persiapan relokasi tahap kedua dan ketiga oleh pemerintah.Salah satu pengungsi Sinabung yang mengikuti program relokasi tahap pertama, Juwita Ginting, mengaku nyaman tinggal di tempat baru. Dia menilai fasilitas yang disediakan pemerintah di Desa Siosar cukup representatif. Mulai dari rumah, lahan pertanian, hingga bibit tanaman. Setiap hunian di sana juga dilengkapi dengan instalasi air untuk kebutuhan rumah tangga.“Hanya saja, kami masih kesulitan mengairi lahan pertanian kami. Itu kekurangannya di sini,” ungkap perempuan asal Desa Sukameriah itu.Tidak semua pengungsi yang direlokasi ke Siosar mendapat lahan pengganti. Elizabeth Saragih termasuk di antara yang tidak beruntung itu. Karena tidak kebagian tanah buat berladang, ibu satu anak itu terpaksa bekerja serabutan demi bertahan hidup.“Sejak 2015 pindah ke mari (Siosar), kami tidak pernah diberi lahan. Bagaimana mau mencari makan?” keluh bekas warga Desa Simacem itu.
Korban erupsi Gunung Sinabung asal Desa Sigarang-garang, Edi Sitepu (tengah), kini memilih menetap di Desa Kuta Rayat. Di sana, dia dan beberapa warga lainnya menggarap ladang seluas 9.000 meter persegi untuk menyambung hidup. (Foto: iNews/Oghi Prayogi)
Pemerhati pengungsi Gunung Sinabung, Gelora Pandia, menilai langkah pemerintah merelokasi para korban ke Desa Siosar sebenarnya sudah baik. Menurut dia, desa itu cukup ideal dijadikan tempat menata hidup baru bagi para pengungsi. Meski demikian, kebijakan tersebut sampai saat ini masih menyisakan satu persoalan.
“Dari total 370 KK yang direlokasi ke Siosar, ada 103 KK belum mendapatkan lahan pertanian. Padahal, para pengungsi itu profesinya adalah petani semua,” kata Gelora.Dia berpendapat, ada kekeliruan yang dilakukan pemerintah ketika membuat skema relokasi bagi para pengungsi Gunung Sinabung. Kekeliruan itu bisa dilihat dari tidak terpenuhinya ketersediaan lahan pertanian untuk mereka. “Buat masyarakat itu sebetulnya lebih bagus mereka itu diberikan lahan pertanian, alih-alih rumah. Artinya, dengan adanya tanah garapan, mereka bisa mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari,” ucapnya.Dalam kondisi serbaterbatas, ternyata ada juga korban letusan Gunung Sinabung yang dengan swadaya berusaha bangkit dari keterpurukan, tanpa mengandalkan program relokasi dari pemerintah. Seperti Edi Sitepu, misalnya. Sejak 2014, bekas warga Desa Sigarang-garang itu memutuskan untuk menetap di Desa Kuta Rayat, sebuah kawasan berjarak 7 km dari kampung halamannya dulu.Di tempat itu, dia bersama 50 KK pengungsi lainnya menggarap area hutan seluas 9.000 meter persegi untuk dijadikan ladang. “Di sini kami menanam cabai dan kentang. Hasilnya lumayan lah untuk menghidupi keluarga,” tutur Edi.Lelaki itu mengaku tidak ingin kembali lagi ke desanya yang lama. Alasannya, aktivitas vulkanik Gunung Sinabung yang terjadi terus-menerus sepanjang beberapa tahun terakhir membuat Desa Sigarang-garang sudah tidak layak ditinggali. Sementara, di tempat baru sekarang, dia bisa mencapai penghidupan yang lebih baik dari sebelumnya.“Daripada direlokasi ke tempat lain pun, kami lebih memilih untuk menetap di Kuta Rayat ini saja. Karena tanahnya sangat subur untuk bercocok tanam,” ujar Edi. ***