Scandal: Di Balik Tragedi Danau Toba

JAKARTA, iNews.id – Tragedi tenggelamnya KM Sinar Bangun masih meninggalkan duka mendalam bagi keluarga. Tiga orang meninggal dunia, sementara 164 lainnya hilang setelah kapal tenggelam saat berlayar dari Pelabuhan Simanindo, Kabupaten Samosir, menuju Pelabuhan Tigaras, Kabupaten Simalungun, Senin (18/6/2018) lalu.
Belakangan bangkai KM Sinar Bangun dan korban ditemukan di kedalaman 455 meter Danau Toba dengan peralatan ROV ECA H1000, Kamis (28/6/2018). Namun, proses evakuasi tak bisa dilanjutkan mengingat lokasinya di dasar dan terkendala peralatan yang tidak memadai. Pencarian selama 16 hari pun resmi dihentikan pada Selasa (3/7/2018).
Keputusan itu menimbulkan pro dan kontra. Sebagian keluarga tidak bisa menerima alasan pemerintah menghentikan proses evakuasi, apalagi karena lokasinya sudah ditemukan. Mereka sudah menanti belasan hari di Danau Toba dengan harapan bisa bertemu dengan keluarga tercinta yang tenggelam bersama KM Sinar Bangun. Bahkan, mereka sudah siap jika hanya bertemu dengan jenazah keluarganya. Namun, keluarga juga pasrah dengan keputusan pemerintah.
Saat ini, proses hukum atas kecelakaan kapal tersebut tetap berjalan. Kecelakaan diyakini karena sejumlah persoalan, mulai dari lemahnya pengawasan pemerintah dan peralatan keselamatan penumpang yang buruk. Kapal membawa penumpang jauh melebihi kapasitasnya. Insiden di Danau Toba juga bukan sekali ini terjadi dan sudah banyak memakan korban.
Akibat insiden itu, polisi sudah menetapkan lima orang tersangka. Empat di antaranya merupakan pejabat perhubungan di Kabupaten Samosir, termasuk kepala Dinas Perhubungan, sementara satu lainnya merupakan nakhoda kapal.
Proses pencarian bangkai kapal dan korban memang telah dihentikan. Namun, hingga kini, tragedi ini masih menjadi pembicaraan masyarakat, terutama keluarga korban. Banyak pertanyaan yang belum terjawab.
Apa yang sesungguhnya terjadi di balik peristiwa ini? Saksikan Scandal: Di Balik Tragedi Danau Toba di iNews, Sabtu, 14 Juli 2018 pukul 06.30-07.30 WIB bersama Abraham Silaban.
Editor: Maria Christina