Lalu menikahlah mereka, serta dikaruniai seorang putra bernama Samosir. Anak itu tumbuh sangat aktif dan sedikit nakal. Dia tidak pernah mau membantu ayahnya yang sibuk bekerja di ladang. Bahkan untuk mengantarkan bekal kepada sang ayah, Samosir sering kali menolak.
Samosir juga memiliki nafsu makan yang tinggi, sehingga Toba harus bekerja lebih keras untuk memenuhi nafsu makan anaknya tersebut. Bahkan sering kali jatah makanan sekeluarga dihabiskan oleh Samoris.
Akhirnya, pada suatu hari Samosir diminta ibunya untuk mengantarkan bekal kepada sang ayah yang sedang bekerja di ladang. Awalnya Samosir menolak tetapi berkat paksaan dari sang ibu, dia akhirnya bersedia untuk mengantarkan bekal.
Kepada sang ayah yang sedang bekerja di ladang, Samoris datang dengan wajah yang bersungut-sungut. Samosir kemudian berjalan menuju ladang di tengah perjalanan, Samosir merasa sangat lapar.
Dia kemudian berhenti sejenak dan berpikir untuk memakan sedikit bekal untuk sang ayah, tetapi niat awalnya hanya memakan sedikit, akhirnya makanan itu yang jadi sisa sedikit. Lalu Samosir lanjut berjalan ke ladang dengan membawa bekal yang sudah hampir habis.
Toba sangat senang setibanya Samosir di ladang dengan membawa bekal, karena dia sudah sangat lapar sebab bekerja dari pagi hari. Kegembiraannya tak berlangsung lama, dia terkejut saat membuka bekal yang dibawa oleh Samosir. Toba lalu bertanya dengan raut wajah yang sangat kesal.
“Kenapa makananku tinggal sedikit?," ujar Toba.
“Tadi di jalan aku sangat lapar ayah, jadi aku makan dan minum sedikit bekal ayah, tapi tidak semua kuhabiskan kan? Masih aku sisakan sedikit untuk ayah” ujar Samosir dengan wajah polos.
“Anak tidak tahu diuntung” kata Toba ke Samosir.
Kemarahannya semakin menjadi jadi dan tak terbendung hingga menyumpat kasar.
“Dasar kau anak keturunan ikan!!” ujar Toba.
Samosir sangat terkejut dia berlari dan menangis pulang ke rumah. Sesampainya di rumah, Samosir menceritakan hal ini kepada ibunya.
Editor : Nani Suherni
Artikel Terkait