2. Tagari Lonjo
Menurut masyarakat Balaroa, Palu dan sekitarnya, Tagari mempunyai arti daerah sedangkan Na’Lonjo yang berasal dari bahasa Kaili yang mempunyai arti tertanam atau daerah yang berawa. Tagari Lonjo ini berkaitan dengan bencana alam, yaitu likuifaksi (tanah bergerak sendiri).
Tagari Lonjo menceritakan larangan untuk melalui daerah Lonjo. Pada saat itu, pedagang yang berasal dari Marawola menuju Pasar Tua Bambaru lebih memilih memutar melalui jalur Duyu.
Pedagang khawatir apabila melewati jalur Lonjo akan tertanam di dalam lumpur. Padahal jalur Lonjo ini jalur tersingkat menuju Pasar Tua Bambaru. Diketahui, daerah Lonjo ini struktur tanahnya labil sehingga beban berat yang berada di atasnya dapat ambles.
Sementara di bagian timur daerah Lonjo terdapat Tonggo Magau. Tonggo Magau berarti tempat berkubangnya kerbau milik Raja Palu. Tonggo Magau ini juga dikisahkan turun temurun, yaitu tentang hilangnya kerbau Raja Palu. Diketahui, kerbau yang hilang tersebut jatuh di lubang yang tak jauh dari Tonggo Magau. Masyarakat setempat menamakannya dengan Pusentasi, yang berarti pusat laut.
Menurut masyarakat sekitar, Pusentasi akan naik jika laut sedang terjadi pasang. Sementara, jika air laut surut, maka permukaan air di Pusentasi juga ikut turun. Namun seiring perkembangan zaman, masyarakat mulai lupa akan larangan untuk menjauhi daerah tersebut.
Tagari Lonjo menjadi booming setelah terjadinya peristiwa likuifaksi yang terjadi di Perumnas Balaroa, Palu, Sulawesi Tengah. Diketahui, gempa bumi yang terjadi pada September 2018 ini menimbulkan likuifaksi. Tercatat, ada ribuan rumah yang terkena dampak likuifaksi.
Editor : Donald Karouw
Artikel Terkait