MEDAN, iNews.id - Seorang wartawan senior di Sumatera Utara, Muhammad Tok Wan Haria (TWH) menyulap rumahnya menjadi Museum Perjuangan Pers. Meskipun usianya sudah menginjak 89 tahun, namun semangat ayah 6 anak kelahiran Aceh Utara 15 November 1932 ini masih luar biasa kalau diajak bicara mengenai sejarah dan perkembangan pers di tanah air maupun mancanegara.
Ketika sejumlah jurnalis mendatangi kediamannya di Jalan Sei Alas No.6, Kelurahan Sei Sikambing D, Kecamatan Medan Petisah, Kota Medan, lelaki tua ini masih terbaring di tempat tidur. TWH menyulap rumahnya yang tak terlalu besar menjadi museum pers yang hanya bisa dihitung jari di Indonesia.
"Mimpi apa saya bisa bertemu dengan pendekar-pendekar pers ini," ujar TWH dengan mata yang sudah separuh basah, Minggu (28/3/2021).
Dengan senyum tulus, TWH menerima rombongan yang hadir di antaranya, Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) DI Aceh Tarmilin Usman, Ketua Komisi Informasi Publik (KIP) Riau Zufra Irwan, beserta dua Komisioner KIP Sumut Eddy Syahputra Sormin dan Abdul Jalil, dan Ketua Dewan Kehormatan Provinsi (DKP) Riau Dheni Kurnia yang sekaligus menjadi Ketua Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) Riau.
"Sisa-sisa hidup saya, akan saya wakafkan bagi siapapun yang datang ke sini," katanya,
TWH bercerita, keinginan untuk membuat museum pers ini sudah lama diidamkannya. Tapi tak pernah kesampaian. Dia sudah menghubungi banyak orang, banyak pejabat, banyak tokoh dan pengusaha. Tapi di antara orang-orang yang dihubungi, tak banyak yang berminat atau membantu.
TWH pun letih sendiri. Akhirnya, dalam kegalauan, dia memutuskan menjadikan rumahnya sebagai Museum Perjuangan Pers Sumatera.
"Tak akar rotan pun jadi. Tak emas bungkal diasah. Tak jenjang kayu dikeping. Tak dapat numpang di Balai Kota Medan, ya di rumah sayalah," ujar TWH yang menjadi wartawan sejak tamat SMA, berpepatah.
TWH menuturkan, sejak museum ini dibuka tak banyak pejabat yang datang. Kalau dari kalangan praktisi pers, mana yang sempat saja. Tapi pelajar dan mahasiswa hampir dua ribuan yang berkunjung.
Ini yang membuat TWH senang. Apalagi beberapa mahasiswa Universitas Sumatera Utara (USU) dan beberapa universitas lainnya, menjadikan data di museum sebagai bahan skripsi mereka.
Ketika Hari Pers Nasional (HPN) 9 Februari 2021 lalu, Wakil Gubernur Sumut Musa Rajekshah sempat berkunjung ke museum. Musa mengaku terpukau melihat berbagai koleksi surat kabar lama serta tokoh-tokoh pejuang pers dan pejuang kemerdekaan RI di Sumatera yang dipajang di museum. Ketika itu Musa mengatakan, rumah pribadi TWH ini terlalu kecil untuk museum.
"Tempat ini tidak layak menampung semua koleksi TWH. Saya janji mendiskusikan masalah ini dengan Gubernur Sumut, Pak Edy Rahmayadi. Saya akan mengupayakan lokasi yang bisa menampung banyak koleksi pers dan terbilang lengkap ini," janji Musa ketika itu. TWH pun terharu dan tidak mampu membendung tangisnya.
Ketika Bobby Nasution akan maju sebagai Wali Kota Medan, dia juga berkunjung dan meminta doa restu dari tokoh Pers Sumut ini agar terpilih jadi Wali Kota. Meski hujan lebat, Bobby tetap mendatangi kediaman TWH.
Bobby Nasution disambut pemilik rumah dengan mengenakan baju pejuang, lengkap dengan atributnya. Ketika itu TWH mendoakan agar Bobby terpilih sebagai orang nomor satu di Kota Medan.
TWH juga berharap pada Bobby, jika dia terpilih jadi Wali Kota Medan, bisa membuat kebijakan agar Balai Kota dijadikan Museum Kota Medan. Karena saat ini, tempat itu telah berubah menjadi restoran sehingga nilai sejarahnya hilang.
"Saya sungguh meminta, jika Pak Bobby menang, bisa mengembalikan fungsi balai kota sebagai museum dan objek sejarah," harapnya saat itu.
Sesungguhnya, kedekatan TWH dan cita-citanya mendirikan Museum Pers karena dia adalah bagian yang tak terpisahkan dari profesi wartawan. Sejak kecil, TWH sudah akrab dengan dunia komunikasi. Apalagi ayahnya adalah Kepala Penerangan Tentara Resimen Divisi X yang juga seorang wartawan di Media "Seruan Kita".
Pada usia 16 tahun, TWH ikut jejak ayahnya menjadi wartawan di Aceh. Beberapa tahun kemudian, dia pun masuk menjadi tentara. Dalam rapat yang dilakukan Presiden Soekarno di Bireuen tahun 1948, dia ditugaskan menjadi Tentara Penerangan untuk penerimaan berita maupun foto, serta memberikan informasi kepada masyarakat mengenai kondisi Indonesia pada era kemerdekaan.
Setelah agresi Belanda berakhir, TWH pindah ke Medan. Tahun 1950, dia melanjutkan pendidikan di SMP Josua dan kemudian masuk ke SMA Tagore.
Usai pulang sekolah, TWH memberanikan diri untuk melamar pekerjaan di Harian Mimbar Umum pada tahun 1954. Dia diterima di media itu. Tamat SMA, dia fokus menjadi wartawan sehingga bisa keliling wilayah Asia dan ASEAN.
Dalam perjalanan karirnya, TWH pernah menjadi satu-satunya perwakilan Indonesia untuk meliput pemilihan Presiden Ronald Reagen periode kedua pada tahun 1980-an bersama 27 jurnalis dari seluruh dunia. Di sinilah TWH bisa menginjakkan kaki di Amerika Serikat dan sempat menaiki gedung pencakar langit World Trade Center yang kini sudah runtuh saat peristiwa 11 September 2001.
Tahun 2011, Muhammad TWH mendapatkan "Press Card Number One" atau Kartu Pers Nomor Satu dari PWI Pusat. Tidak semua wartawan senior dapat memilikinya. Press Card Number One adalah bukti bahwa TWH seorang wartawan profesional dengan kompetensi dan integritas tinggi.
Sebagai pejuang, TWH yang pernah menjadi Humas Legiun Veteran RI Sumut, pernah pula menerima penghargaan sebagai Tokoh Kurator Komunikasi Jurnalistik dalam ajang Anugerah Komunikasi Indonesia 2018 di Bandung, Jawa Barat (Jabar).
Sebagai seorang wartawan hebat, TWH juga seorang penulis handal. Dia sudah menulis 28 buku sejak tahun 1986. Mulai dari buku "Pertarungan di Front Barat Medan Area" Hingga buku terbaru berjudul Sejarah Pers dan Pendidikan Dasar Perfilman Sumut ".
Dia juga rajin dan hobi mengumpulkan setiap dokumen pers, sejarah, buku-buku, surat kabar tua, foto-foto, nama-nama pejuang dan perannya, kliping koran dan sebagainya. Mulai dari wilayah Aceh, Sumut dan Sumatera Tengah (Sumbar, Riau dan Jambi).
"Harta karun" yang ribuan jumlahnya itulah yang kini memenuhi Museum Perjuangan Pers Sumut. Hebatnya, TWH hafal semua jenis barang yang dikoleksi beserta semua latar belakang sejarahnya.
Kini, TWH memang sedang merindu. Di umurnya yang sudah menginjak 89 tahun, dia rindu ada pihak lain yang akan memindahkan museum dari rumahnya. Dia ingin, agar sejarah Pers di Sumut dan Sumatera bahkan di Indonesia tidak hilang begitu saja. Jika kelak dia sudah tiada, semua dokumen penting tersebut bisa terawat dan terjaga sepanjang masa.
Editor : InewsTv Henri Sianturi
Artikel Terkait