Sejarah Marga Karo dari Latar Belakang hingga Legenda yang Melekat

KARO, iNews.id - Sejarah marga Karo akan dibahas dalam artikel ini. Suku yang mendiami Kabupaten Karo, Sumatera Utara (Sumut) ini memiliki sejarah cukup panjang.
Kabupaten Karo, yang beribu kota di Kabanjahe, memiliki wilayah dataran tinggi dengan ketinggian antara 600-1400 m di atas permukaan laut. Suku Karo tersebar di beberapa wilayah, seperti Dataran Tinggi Karo, Kabupaten Deliserdang, Kota Binjai, Kabupaten Langkat, Kabupaten Dairi, Kota Medan, dan Kabupaten Aceh Tenggara. Penasaran dengan sejarah marga suku ini? Berikut penjelasannya.
Suku Karo memiliki bahasa sendiri yang disebut Bahasa Karo dan menyapa dengan salam khas, yaitu Mejuah-juah. Pakaian adat suku Karo didominasi oleh warna merah dan hitam, seringkali dihiasi dengan perhiasan emas.
Berdasarkan Keputusan Kongres Kebudayaan Karo pada 3 Desember 1995, pemakaian marga didasarkan pada Marga Silima. Pemakaian marga ini penting untuk menghindari kerancuan, terutama dengan adanya sub marga yang dipakai di belakang marga.
Suku Karo, salah satu suku bangsa yang mendiami wilayah Sumatera Utara, memiliki warisan budaya dan sejarah yang kaya. Dalam kesehariannya, suku ini dikenal dengan lima marga induknya, yang memiliki sejarah panjang dan berkembang menjadi beberapa sub marga. Dalam tulisan ini, kita akan menjelajahi asal-usul dan perkembangan suku Karo melalui lensa sejarah Marga Silima.
Asal-usul Marga Silima erat kaitannya dengan sejarah suku Karo, sebuah cerita yang telah diwariskan dari generasi ke generasi. Salah satu narasi menarik disampaikan oleh Sempa Sitepu melalui bukunya yang berjudul "Sejarah Pijer Podi, Adat Ngeluh Suku Karo Indonesia." Dalam narasinya, kita dibawa kembali ke masa lalu, ketika seorang Maharaja dari India Selatan memutuskan untuk mencari tempat yang subur untuk mendirikan kerajaan baru.
Rombongan Maharaja tersebut, yang terdiri dari keluarga dan pengikut setianya, berlayar melintasi perairan yang berbatasan dengan Myanmar. Di antara pengikutnya terdapat seorang pengawal yang sakti bernama Si Karo, yang kelak menjadi tokoh sentral dalam cerita ini. Si Karo menikah dengan putri Maharaja bernama Miansari.
Perjalanan mereka penuh liku-liku, dan dalam suatu peristiwa dramatis, rombongan itu terpencar dan terdampar di pulau berhala. Di pulau inilah Si Karo dan Miansari bersama tujuh orang lainnya terpisah dari rombongan Maharaja. Dengan menggunakan rakit, mereka akhirnya tiba di sebuah pulau yang kemudian diberi nama 'Perbulawanen,' yang artinya perjuangan, dan kini dikenal sebagai daerah Belawan.
Editor: Nani Suherni