Untung dan teman-temannya membudidayakan ulat magot sejak tahun 2020 di lahan seluas 2 rante (40x40 meter) yang hanya berjarak beberapa kilometer dari pabrik peleburan (smelter) aluminium milik PT Indonesia Asahan Alumunium (Inalum). Lahan pembudidayaan ulat magot itu terintegrasi dengan kandang puluhan ekor bebek, ayam serta dua kolam plastik berisi ribuan ekor ikan nila dan lele.
"Sejak ada budidaya ulat magot ini, biaya kami untuk pakan ternak bisa ditekan sampai 70 persen," kata Untung sembari terus memberikan magot pada puluhan ekor bebeknya.
Untung menceritakan usaha budidaya magot ini mereka rintis saat usaha peternakan sedang sulit akibat terdampak Pandemi Covid-19. Mereka sempat kewalahan untuk memenuhi kebutuhan pakan, di tengah stagnasi harga jual ternak akibat daya beli masyarakat yang menurun terimbas pandemi.
"Kita awalnya ditawari Inalum untuk mengolah limbah di kantin mereka untuk dijadikan pakan ternak. Karena belum pernah, kita sempat ragu juga.Tapi pelan-pelan kita coba dan bisa," ujarnya semringah.
Di awal, mereka mendapatkan bantuan dari dana tanggungjawab sosial (CSR) perusahaan Inalum berupa limbah seng dan rangka baja untuk membuat kandang. Mereka juga diberikan kemudahan akses pengambilan sampah kantin Inalum. Selain itu mereka juga diberi bantuan bebek dan lele serta studi banding dan pelatihan budidaya magot.
"Awalnya hanya kandang untuk bibit BSF-nya. Lalu kita punya 1 biopond (bak pembesaran larva BSF). Kalau sekarang sudah ada 25 biopond. Masing-masing biopond bisa menghasilkan ribuan magot. Kalau sekarang, kita bisa menghasilkan 40-50 kilogram magot segar dalam sehari," katanya.
Menurut Untung, budidaya magot terbilang mudah dan sederhana. Awalnya lalat BSF dipelihara sampai bisa menghasilkan telur. Kemudian setelah 4 hari telur-telur itu akan menetas dan menjadi larva. Kemudian dipindahkan ke biopond untuk diberi makanan sampah organik hingga mencapai usia 21 hari dan siap dipanen.
"Untuk sampah makanan magot, kita ambil dari kantin Inalum. Ada 200 hingga 300 kilogram sampah yang bisa mereka angkut setiap harinya. Sampah-sampah itu kemudian dipilah dan bahan-bahan organik yang sudah dipisah dijadikan makanan untuk magot," katanya.
Untuk pembibitan, sebut Untung, ulat magot dibiarkan memakan sampah organik hingga menjadi prepupa, bentuk ulat berubah berwarna menjadi hitam, biasanya pada tahap ini ulat magot akan memisahkan diri dengan ulat yang masih memakan sampah.
“Saat usia satu bulan prepupa berubah menjadi pupa, lalu pupa ini dimasukkan ke dalam kandang indukan hingga berubah menjadi lalat dan kembali bertelur,” tuturnya.
Meski bisnis budidaya magot ini cukup menjanjikan. Namun Untung mengaku sebagian besar produksi magot mereka masih digunakan untuk keperluan di peternakan mereka sendiri. Mereka belum bisa menjual produk magot segar secara luas karena kemampuan produksi yang terbatas akibat terkendala sumber sampah organik untuk pakan magot.
"Kalau ada yang datang ke sini ya kita jual juga. Nanti ada yang beli 10 atau 20 kilo pakai karung, kita kasih. Peminatnya sebenarnya banyak. Tapi karena produksi terbatas ya bisnisnya belum maksimal. Kemarin ada juga pengusaha ternak dari Medan yang mau beli dalam jumlah besar rutin. Tapi karena terkendala produksi dan biaya transportasi, akhirnya kita gak jadi jual," katanya.
Untung dan kelompoknya berharap mereka bisa mendapatkan kemudahan untuk mendapatkan sampah dari pasar-pasar yang ada di Kabupaten Batubara dan wilayah sekitarnya. Upaya untuk mendapatkan izin mendapatkan sampah-sampah itu juga sudah mereka lakukan, namun belum mendapatkan hasil.
Tingginya kebutuhan sampah organik pada usaha budi daya magot ini sebenarnya bisa dimanfaatkan sebagai solusi alternatif oleh Pemerintah Kabupaten Batubara untuk menangani persoalan sampah di daerahnya. Apalagi berdasarkan data yang dari sekira 270 ton produksi sampah per hari di Kabupaten Batubara, baru sekitar 24 persen yang bisa diangkut Pemkab Batubara ke tempat pembuangan akhir.
"Kalau kami diizinkan mengambil sampah, pasti bisnis budidaya magot ini akan bertumbuh dengan sangat baik. Kalau sekarang di Kabupaten Batubara sepertinya baru kami yang membudidayakan magot ini," ucapnya.
Editor : Nani Suherni
Artikel Terkait